HUJAN PAGI INI....
Hujan kembali datang menyambut pagi....
Seakan tiada memberi kesempatan untuk sang mentari
menemani............
Hatiku disini masih sepi...
Seakan tiada memberi kesempatan tuk ku rasakan cinta
kembali...
Kau yang t'lah pergi bersamanya kini tlah bahagia...
Memaksaku tersenyum walaupun duka terasa
Hujan pagi ini mengingatkanku padamu....
Kau yang maih ku cinta...
Kau yang masih ku puja...
Ditempat ini kita ucapkan sumpah cinta...
Ditempat ini kita menjadi Rama dan Shinta...
Berjanji kan menjaga cinta kita sampai ajal memisahkan kita...
Ucapkan manismu masih tetap terdengar jelas di telinga..
Hangat pelukmu masih dapat ku rasakan...
Seakan kita masih bersama seperti saat itu...
Tapi ku sadari kini kau bukan milikku lagi...
Tiada lagi yang menemani sisi...
Tiada lagi yang dapat menenangkan di saat gundah hati..
Tiada lagi pelukan hangat di saat ku menangis..
Tiada lagi ku dengar bisikan cinta darimu...
makna: menjalankan sebuah kisah cinta janganlah kita terlalu dalam.jangan mengingat kisah cinta yang telah berlalu,karena bila ada yang menyakitkan maka kita akan teringat dengan masalah cinta kita di masa lalu.
Deskripsi: -hening
-seding
-melamun
-seorang pria
Kamis, 27 Maret 2014
MENGENAI SUKU LAMPUNG
Suku Lampung
Kata Lampung sendiri berasal dari kata "anjak
lambung" yang berarti berasal dari ketinggian dan seperti diketahui bahwa
kaki gunung Pesagi dan dataran tinggi Sekala brak, Lampung Barat yang menjadi tempat
asal mula suku Lampung atau Ulun Lampung adalah puncak tertinggi di tanah
Lampung. Karena kebutuhan untuk memenuhi hidup yang sudah tidak terpenuhi lagi
di dataran tinggi Sekala Brak, maka kelompok demi kelompok meninggalkan Sakala
Berak menurun ke lembah dengan mengikuti aliran sungai. Kelompok atau kaum
tersebut kemudian membentuk buwai.
Catatan lain menyebutkan bahwa perpindahan suku
asli lampung disebabkan adanya penyerangan dari luar, sebagaimana dijelaskan
dalam Kitab Kuntara Raja Niti, bahwa orang-orang Bajau (perompak
laut) datang menyerang, akhirnya Keratuan Pemanggilan menjadi pecah. Sedangkan
warganya beralih tempat meninggalkan Skala Berak menuju ke daerah dataran
rendah Lampung sekarang.
Sejak saat itu, Ulun Lampung menjadi beberapa buwai
yang kemudian menjadi Sub-suku Lampung seperti sekarang ini, yaitu Komering,
Peminggir Teluk/ Semangka/ Pemanggilan, Melinting/ Meninting, Way Kanan,
Sungkai, Pubian, Abung, dan Tulang bawang. Termasuk juga Ranau dan Lampung
Cikoneng. Catatan asal usul ini masih sangat perlu didukung data-data autentik
dan tersurat dalam catatan/ dokumen yang tertulis di kulit-kulit pohon yang
mungkin banyak tersimpan seantero kampung tua yang ada di Lampung. Termasuk di
daerah Ranau maupun Komering.
Di Lampung juga mengenal sebutan masyarakat
adat Saibatin atau Pesisir, yaitu pribumi suku
Lampung yang melaksanakan adat musyawarahnya tanpa menggunakan kursi Pepadun.
Sebagian besar dari mereka berdiam ditepi pantai, maka masyarakatnya disebut
adat Pesisir. Sementara, masyarakat beradat Pepadun, yakni pribumi
suku Lampung yang melaksanakan musyawarah adatnya menggunakan kursi Pepadun.
Adat Pepadun, adat istiadat pribumi Lampung Abung Siwo Mego; Abung Siwo Megou,
Pubian Telu Suku (termasuk Pubian Dua Suku di Pesawaran) dan Megou Pak Tulang
Bawang. Pepadun, tahta kedudukan penyimbang atau tempat seorang duduk dalam
kerajaan adat. Pepadun biasanya digunakan saat pengambilan gelar kepenyimbangan
(pimpinan adat).
Pertumbuhan penduduk asli atau Ulun Lampung
terhitung sangat lambat, bukan oleh karena kesehatan yang kurang baik, tapi
karena adanya peraturan perkawinan yang ketat. Wanita asli Lampung akan
dikawinkan ketika telah berumur 18 tahun, sedangkan pria ketika sudah melebihi
usia 21 tahun. Kecuali dalam keadaan khusus yang disebabkan adanya kepentingan
kekerabatan adat yang mendesak, kehilangan punyimbang / sebatin, atau
karena persoalan waris.
Selain karena adanya peraturan perkawinan harus
cukup umur, dalam masyarakat Lampung jarang terjadi perceraian atau mengawini
janda, jika tidak karena terpaksa. Misalnya di lingkungan masyarakat beradat pepadun,
penceraian merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum adat. Perkawinan lebih
dari satu atau poligami pun sangat jarang terjadi, hanya terjadi di kalangan
orang yang mampu atau pemuka adat.
Dalam menjalin hubungan sosial, Ulun Lampung,
sekali pun masih anak-anak, mereka memakai nama besar yang disebut juluk. Setelah
berumah tangga, ia memakai nama tua atau gelar yang disebut adok bagi
laki-laki dan inai bagi perempuan. Secara kehidupan orang Lampung
sebenarnya sangat sederhana, namun mereka suka mendapat pujian dan gemar
menerima tamu atau nemui, juga gemar memberi hadiah pada kerabat atau nyimah.
Selain pada sesama kerabat, mereka pun suka melakukan kunjung mengunjung atau negah,
suka berkenalan satu sama lain atau nyapur, serta berbincang-bincang
dan bermusyawarah hingga lupa waktu. Intinya Ulun Lampung sangat solider dan
suka bersosialisasi.
Sifat suka bersosialisasinya bisa kita temukan
dalam pandangan hidupnya yang kuat. Dicerminkan dalam bahasa daerah yang
disebut Pi-il Pesenggiri, urutan pengertiannya seperti berikut: Pi-il
Pesenggiri (rasa harga diri), Jutuk adek (bernama bergelam), Memui
nyimah (terbuka tangan), Nengah nyampur (hidup bermasyarakat), Sakai
Sambayan (tolong menolong).
Dalam menghadapi masalah, orang Lampung berpegang
pada; “ulah pi-il jadai wawai” dan “ulah pi-il menguwai jahlel”
yang berarti; “karena pi-il menjadi baik” dan “karena pi-il membuat jahat”.
Jadi jika suatu masalah diselesaikan secara baik-baik dengan orang Lampung,
maka mereka akan bertoleransi tinggi, namun jika suatu masalah tidak
diselesaikan dengan baik, orang Lampung akan sekuat tenaga mempertahankan harga
dirinya.
Langganan:
Postingan (Atom)